ASPEK
HUKUM DALAM EKONOMI
“ANTIMONOPOLI
DAN PERSAINGAN USAHA, SENGKETA, UNDANG-UNDANG ITE”
Disusun
Oleh:
Hasian Nainggolan (23215080)
Lusiani Pratama Putri (23215890)
Riva Oktaviyandari (26215085)
2EB23
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
EKONOMI
ATA
2016/2017
ANTIMONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
A. Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat
(Curang)
Kata
“ monopoli “ berasal dari kata Yunani yang berarti “ penjual tunggal “.
Disamping itu istilah monopoli sering disebut juga “Antitrust” untuk pengertian
yang sepadan dengan istilah “ antimonopoli “ atau istilah “dominasi” yang
dipakai oleh masyarakat Eropa yang artinya sepadan dengan arti istilah “
monopoli “ di kekuatan pasar. Dalam praktek keempat istilah tersebut yaitu
istilah monopoli, antitrust, kekuatan pasar dan istilah dominasi saling
ditukarkan pemakaiannya.Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukan
suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar, dimana pasar tersebut tidak
tersedia lagi produk subtitusi atau produk subtitusi yang potensial dan
terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan pasar.
Menurut
UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 1 UU Antimonopoli, Monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok
usaha. Persaingan usaha tidak sehat (curang) adalah suatu persaingan antara
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau
jasa dilakukan dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dalam
UU nomor 5 tahun 1999 pasal 1 butir 6 UU Antimonopoli,’Persaingan curang (tidak
sehat) adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara
tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha’.
a.
Ruang Lingkup Aturan Antimonopoli
Dalam Undang-undang Fair Trading di
Inggris tahun 1973, istilah Monopoli diartikan sebagai keadaan di mana sebuah
perusahaan atau sekelompok perusahaan menguasai sekurang- kurangnya 25 %
penjualan atau pembelian dari produk-produk yang ditentukan . Sementara dalam
Undang-Undang Anti Monopoli Indonesia, suatu monopoli dan monopsoni terjadi
jika terdapatnya penguasaan pangsa pasar lebih dari 50 % (lima puluh persen )
pasal 17 ayat (2) juncto pasal 18 ayat (2) ) Undang-undang no 5 Tahun 1999
Dalam pasal 17 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli dikatakan bahwa “pelaku
usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan tidak sehat”. Sedangkan dalam pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa
“pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
·
Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada
subtitusinya.
·
Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam
persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama.
·
Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai
lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.
Sementara itu, pengertian posisi
dominan dipasar digambarkan dalam sidang-sidang Masyarakat Eropa sebagai :
·
Kemampuan untuk bertindak secara merdeka dan bebas dari
pengendalian harga, dan
·
Kebergunaan pelanggan, pemasok atau perusahaan lain dalam
pasar, yang bagi mereka perusahaan yang dominant tersebut merupakan rekan
bisnis yang harus ada.
·
Dalam ilmu hukum monopoli beberapa sikap monopolistik yang
mesti sangat dicermati dalam rangka memutuskan apakah suatu tindakan dapat
dianggap sebagai tindakan monopoli.
Sikap monopolistik tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Mempersulit masuknya para pesaing ke
dalam bisnis yang bersangkutan.
2) Melakukan pemasungan sumber supply
yang penting atau suatu outlet distribusi yang penting.
3) Mendapatkan hak paten yang dapat
mengakibatkan pihak pesaingnya sulit untuk menandingi produk atau jasa
tersebut.
4) Integrasi ke atas atau ke bawah yang
dapat menaikkan persediaan modal bagi pesaingnya atau membatasi akses
pesaingnya kepada konsumen atau supplier.
5) Mempromosikan produk secara
besar-besaran.
6) Menyewa tenaga-tenaga ahli yang
berlebihan.
7) Perbedaan harga yang dapat
mengakibatkan sulitnya bersaing dari pelaku pasar yang lain.
8) Kepada pihak pesaing disembunyikan informasi
tentang pengembangan produk , tentang waktu atau skala produksi.
9) Memotong harga secara drastis.
10) Membeli atau mengakuisisi pesaing-
pesaing yang tergolong kuat atau tergolong prospektif.
11) Menggugat pesaing-pesasingnya atas
tuduhan pemalsuan hak paten, pelanggaran hukum anti monopoli dan
tuduhan-tuduhan lainnya. ( Andersen, William R, 1985:214 dalam Munir Fuady,
2003:8).
B. Tujuan Hukum Antimonopoli
Tujuan hokum antimonopoly diciptakan
adalah:
1) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasionalsebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
2) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil
3) Mencegah praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkanpelaku
usaha
4) Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha
untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa perjanjian yang dilarang dan
kegiatan yang dilarang yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
C. Perjanjian yang dilarang
Salah satu yang diatur dalam UU
Antimonopoli adalah dilarangnya perjanjian tertentu yang dianggap dapat
menimbulkan monopoli atau persaingan curang. Dalam pasal 1 butir 7 UU
Antimonopoli, perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha
untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun baik secara tertulis maupun secara lisan. Perjanjian yang dilarang dalam
hukum anti monopoli yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan
curang,diantaranya:
1) Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar
dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit,sehingga mereka atau
seseorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar. Menurut UU Antimonopoli
pasal 4 ayat 1 dan2, pengertian oligopoli adalah:
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain secara bersama sama dalam melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang/jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan persaingan curang
Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran
barang dan/atau jasa
2) Penetapan Harga (price fixing)
Perjanjian penetapan harga yang
dilarang dalam UU anti monopoli meliputi empat jenis perjanjian
yaitu:
·
Penetapan harga (price fixing)
·
Diskriminasi harga(price discrimination)
·
Penetapan harga dibawah harga pasar atau jual rugi
(predatory pricing)
·
Pengaturan harga jual kembali (resale price maintenance)
3) Perjanjian Pemboikotan (Group
Boycot)
Perjanjian pemboikotan merupakan
salah satu strategi yang dilakukan diantara pelaku usaha lain dari pasar yang sama.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
4) Perjanjian Kartel
Larangan perjanjian kartel diatur
dalam UU no.5 tahun 1999 pasal 11 yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
.Perjanjian kartel merupakan perjanjian yang kerap kali terjadi dalam praktek
monopoli. Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang kerap kali
terjadi dalam praktik monopoli.
D. Tinjauan tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tidak
Sehat
Pengertian Monopoli Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1), pengertian monopoli
merupakan suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha. Sementara itu pengertian monopoli dalam Sherman
Antitrust Act menyatakan bahwa setiap kontrak, kombinasi atau penggabungan dan
konspirasi yang menghambat perdagangan atau bisnis dinyatakan sebagai tindakan
illegal.
Pengertian Persaingan Usaha Tidak
Sehat Mengenai pengertian persaingan usaha tidak sehat diatur dalam Pasal 1
ayat (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menyatakan: “Persaingan usaha tidak
sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa 19 Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri
Hukum Bisnis Anti Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal 53 13
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.”
Dengan pemilihan atas dasar prinsip
persaingan yang sehat, pengguna jasa mendapatkan penyedia jasa yang andai dan
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana konstruksi ataupun bangunan yang
berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang ditetapkan. Disisi lain
merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung tumbuh dan
berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing.
Pemilihan yang didasarkan atas
persaingan yang sehat dilakukan secara umum, terbuka ataupun langsung.Dalam
pelelangan umum setiap penyedia jasa yang memenuhi kualifikasi yang diminta
dapat mengikutinya..
Dari perspektif ekonomi dan hukum,
secara ringkas dapat dinyatakan bahwa tujuan kebijakan persaingan (competition
policy) adalah untuk meminimalisasikan inisiensi perekonomian yang diakibatkan
oleh perilaku pelaku usaha yang bersifat anti persaingan. Persaingan usaha
merupakan cara untuk menjamin tercapainya alokasi sumber daya dengan tepat,
menjamin konsumen mendapatkan barang/jasa dengan harga dan kualitas terbaik dan
merangsang peningkatan efisiensi perusahaan.
Di Indonesia ada beberapa bentuk tindakan anti persaingan,
diantaranya adalah:
a. Tindakan anti persaingan yang
dilakukan perusahaan untuk menghancurkan pesaingnya. Tindakan yang dilakukan
adalah integrasi vertical yang bersifat strategis, dan pembagian pasar;
b. Tindakan anti persaingan yang
dilakukan oleh perusahaan dengan dukungan atau persetujuan pemerintah.
Contohnya adalah asosiasi- asosiasi pengusaha yang bertindak sebagai kartel
atau tata niaga perdagangan;
c. Tindakan anti persaingan badan usaha
milik Negara.
Bentuk-bentuk tindakan anti
persaingan di Indonesia yang terbanyak adalah tindakan anti persaingan kategori
kedua dan ketiga. Artinya, penyebab utama tindakan anti persaingan adalah
karena pemerintah baik itu karena kebijakan distortif yang malah menciptakan
perilaku anti persaingan maupun karena kepemilikan pada BUMN/D dan kecendrungan
memproteksi pasar dimana BUMN/D itu bergerak.
d. Persekongkolan
Pelaku usaha juga dilarang melakukan
kegiatan persekongkolan yang membatasi atau menghalangi persaingan usaha,
karena kegiatan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang
tidak sehat, pengertian persekongkolan diatur dalam Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999, menyatakan: persekongkolan atau konspirasi usaha adalah
bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain
dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha
yang bersekongkol. Mengenai kegiatan persekongkolan diatur dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang menyatakan: pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk menentukan dan atau menetapkan pemenang
tender yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
E. Contoh Kasus
Pengelolaan
taksi Bandara di Indonesia pada saat ini dikeluhkan oleh konsumen taksi. Hal
ini dikarenakan mahalnya biaya taksi dari bandara menuju tempat yang ingin
dituju oleh konsumen. Maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai
lembaga independen yang bertugas mengawasi persaingan usaha di Indonesia,
melakukan penelitian terhadap mahalnya ongkos taksi yang harus dibayarkan oleh
konsumen.
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan survey terhadap pelaku
usaha taksi, koperasi taksi, pengelola wilayah taksi dan konsumen taksi di
Batam.
Penelitian ini dianalisis melalui
pendekatan terhadap Undang-undang nomor 5 Tahun 1999 dengan analisis ekonomi
untuk melihat pengaruh penetapan tarif taksi terhadap surplus produsen dan
surplus konsumen.
Penelitian ini menghasilkan suatu
indikasi adanya praktek monopoli dan penguasaan pasar oleh pelaku usaha di
Bandara Hang Nadim. Kemudian adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha taksi yang bertentang dengan peraturan yang berlaku di daerah Batam.
F. Latar Belakang
Bandara merupakan tempat yang menjadi sarana
dan prasarana untuk memudahkan dan melancarkan arus angkutan penumpang dan
barang sejak dari kedatangan sampai meningalkan bandara. Hal ini menjadikan
bandara sebagai tempat yang penting dan strategis, yang dapat menunjang serta
meningkatkan perekonomian di suatu wilayah tertentu.Orang perorangan yang
lalu-lalang melalui bandara memiliki kepentingan yang berbeda, dengan latar
belakang yang berbeda pula. Untuk itu, sebagai badan usaha yang bergerak
dibidang jasa, setiap bandara dituntut untuk dapat memberikan jasa pelayanan
kepada penumpang yang akan melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jasa
angkutan umum darat. Salah satu bentuk pelayanan yang disediakan oleh pihak
pengelola bandara adalah kenyamanan dalam penggunaan jasa pelayanan taksi.
Seiring dengan
semakin murahnya tarif penerbangan di Indonesia, mengakibatkan jumlah penumpang
yang lalu lalang melalui bandara juga semakin bertambah. Pertambahan ini
tentunya juga mengakibatkan jumlah pengguna jasa angkutan darat dari dan menuju
bandara juga mengalami peningkatan dan tentunya hal ini diikuti pula oleh
adanya peningkatan kebutuhan pengguna jasa angkutan umum darat. Hal inilah yang
memicu hadirnya badan usaha atau koperasi yang mengelola jasa angkutan umum
darat dari dan menuju bandara seperti taksi dan bis. Adanya taksi bandara sebagai salah satu
jasa pelayanan penunjang kegiatan penerbangan merupakan salah satu bentuk
kegiatan yang dikelola PT Angkasa Pura selaku pengelola bandara sebagai suatu
kegiatan komersial. Kewenangan PT Angkasa Pura untuk mengelola bandar udara dan
jasa-jasa penunjangnya tersirat dalam Pasal 31 UU No. 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan, yang menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan
navigasi penerbangan dilakukan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat
dilimpahkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang didirikan untuk maksud
tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Taksi bandara
tersebut dalam operasionalnya diberikan kebebasan untuk mengangkut penumpang
dari dan ke bandara. Dan pada saat mengantarkan penumpang, meskipun setiap
armada taksi bandara telah dilengkapi oleh mesin argometer, pada prakteknya
sewaktu mengantar penumpang dari bandara, argometer tersebut tidak dipergunakan
(dimatikan). Biasanya tarif telah ditetapkan oleh koperasi taksi bandara,
dimana besarnya tarif tergantung dari lokasi trip. Tarif yang diterapkan ini
cenderung merugikan penumpang karena besarnya tarif tersebut jauh di atas tarif
bila argometer digunakan. Bukan hanya adanya penetapan tarif yang dianggap
terlalu tinggi dan merugikan penumpang namun penumpang juga sering mengeluhkan
tarif yang tinggi tersebut tidak diimbangi oleh armada yang layak.
Selain itu,
hampir seluruh bandara udara di Indonesia tidak menyediakan jasa angkutan lain
dari bandara udara ke satu wilayah yang dituju. Taksi merupakan satu-satunya
angkutan umum yang ada sehingga penumpang tidak memiliki pilihan angkutan lain.
Namun tidak semua bandara di Indonesia memberlakukan kebijakan ini. Untuk
wilayah bandar udara Soekarno-Hatta, tidak hanya taksi yang beroperasional di
wilayah ini, namun juga terdapat bis DAMRI yang digunakan untuk mengangkut
penumpang dari dan ke bandara Soekarno-Hatta, dengan cakupan wilayah
operasional meliputi jabodetabek. Kemudian, berdasarkan hasil kajian yang
dilakukan Direktorat Kebijakan Persaingan, di tahun 2003 tercatat 1550 armada
beroperasi di wilayah Bandara Soekarno-Hatta dengan jumlah pengemudi sebesar
2400 orang.
Karena tidak
adanya pilihan lain dalam menggunakan jasa pelayanan taksi di bandara, mau
tidak mau penumpang yang baru datang harus menggunakan jasa layanan yang ada
meskipun taksi tersebut tidak mengoperasionalkan argometer dan tarif yang
ditetapkan jauh di atas tarif bila menggunakan argometer. Keadaan ini tentu
saja akan sangat merugikan penumpang karena mereka harus membayar lebih mahal
untuk jasa layanan yang seharusnya ada substitusinya. Selain itu, hal ini juga
merugikan kompetitor lain, karena pengemudi taksi dari armada lain tidak
mendapat kesempatan mengambil penumpang dari bandara.
G. Pembahasan studi kasus diatas
Bandar udara
Hang Nadim adalah Bandar Udara Internasional yang berada di Pulau Batam,
propinsi Kepulauan Riau. Dengan letak koordinatnya adalah 01° 07' 07" LU
104° 06' 50" BT. Dengan landas pacu sepanjang 4.025 meter dengan lebar 45
meter, arah navigasi (nomor run way) 04 dan 22. Sehingga sudah bisa didarati
oleh pesawat berbadan lebar seperti boeing 747 dan sejenisnya.
Dibangun oleh
Badan Pengembangan Otorita Batam dari tahun 1990 sampai dengan tahun 1995. Dan
resmi menjadi Bandar Udara Internasional pada tahun 2000. Sedangkan untuk
penerbangan ke luar negeri sementara ini melayani Penerbangan Haji untuk kloter
dari Batam sendiri maupun kloter dari daerah lain. Serta melayani penerbangan
transit internasional Batam-Penang. Lokasi Bandar Udara berjarak kurang lebih 7
KM dari pusat kota. Transportasi dilayani menggunakan taxi dan juga angkutan
umum lainnya. Dari Bandara Sukarno Hatta Jakarta menuju Bandara Hang Nadim
memerlukan waktu terbang 1 jam 20 menit menggunakan pesawat Boeing 737 dan
sejenisnya.
H. Kesimpulan studi kasus
Permasalahan
monopoli taksi bandara di Bandara Hasanuddin Makassar bertentangan dengan UU
No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dibutuhkan strategi advokasi yang baik
untuk mengubah perlaku pengusaha dan pembuat kebijakan untuk menghapuskan
praktek monopoli ini. Dari strategi advokasi disimpulkan perlu
dilakukan hal-hal berikut :
·
Melakukan advokasi ke Pemprov. Sulsel dan PT. Angkasa
Pura I dalam bentukpertimbangan dan saran serta dengar pendapat.
·
Melakukan advokasi ke Kopsidara dalam bentuk dengar
pendapat, dan surathimbauan.
·
Melakukan advokasi ke Lembaga Perlindngan Konsumen dalam
bentuk dengarpendapat, penyampaian kajian taksi bandara, dan survey.
SENGKETA
A.
Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa menurut kamus Bahasa
Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik dapat terjadi karena
adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun
organisasi-organisasi. Winardi berpendapat pertentangan atau konflik yang
terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan
atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan
akibat hukum antara satu dengan yang lain. Adapun tujuan seseorang dalam
memperkarakan sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan
memuaskan.
Tanah dapat definisikan menurut
ilmu pastinya adalah kumpulan tubuh alam yang menduduki sebagian besar daratan
planet bumi,yang mampu menumbuhkan berbagai tanaman dan sebagai tempat makhluk
hidup lainnya untuk melangsungkan kehidupan. Dapat disimpulkan sengketa tanah
merupakan perebutan hak atas kepemilikan tanah yang jelas maupun karena kepemilikan
tanah yang tidak jelas, dan sengketa tanah terjadi karena ada sebuah
kepentingan dan hak.Sengketa tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan
kepentingan antara siapa dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk tempat
tinggal atau kepentingan lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas
kepemilikannya diperebutkan bahkan ada yang sudah jelas kepemilikannyapun masih
ada yang diperubutkan, hal ini terjadi karena masyarakat sadar akan kepentingan
dan haknya,selain itu harga tanah yang semakin meningkat.Menurut Rusmadi Murad
timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau
badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik
terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan.
Peraturan yang berlaku kasus
pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan / keberatan dari
masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat
penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta
dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.Kasus pertanahan dapat berupa permasalahan status tanah,masalah
kepemilikan,masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan
sebagainya.
B.
Faktor Pendorong (Penyebab)
Sengketa Lahan Menurut
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga hal utama
yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas,
akibatnya adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki
sertifikat masing-masing.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata.
Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah
pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara
ekonomi, politis maupun sosiologis.Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya
petani/penggarap tanah memikul beban paling berat.Ketimpangan distribusi tanah ini
tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan
liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan
pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah.
Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat
dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah
membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama
ditelantarkan begitu saja.Mungkin sebagian orang menganggap remeh dengan
memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah ini, padahal persoalan ini
merupakan persoalan yang harus segera di carikan solusinya.Kenapa
demikian?karena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar ras,
suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
Indonesia adalah Negara yang
berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum yang
diwujudkan dalam peraturan perundang undangan. Masyarakat dalam suatu Negara
hukum akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu lembaga peradilan yang diatur
khusus oleh undang undang. Begitu pula dengan pertanahan yang mempunyai
undang-undang politik agrarian (UUPA).Namun, sengketa tanah yang terjadi di
Indonesia tidak pernah berakhir, selalu ada permasahalan terkait masalah
kepemilikan tanah dan hak guna pakainya.
Menurut Saidin (2002), bahwa pada
catatan statistik pengadilan di Indonesia, kasus-kasus sengketa pertanahan di
peradilan formal menempati urutan pertama bila dibandingkan dengan kasus-kasus
lainnya. Masalah sengketa tanah tidak akan ada habisnya karena tanah mempunyai
arti sangat penting bagi kehidupan manusia.
Menurut Lovetya (2008), faktor
penyebab dari konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah,
ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna
penguasaan tanah oleh Negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian antara
undang-undang dengan kenyataan dilapang seperti terjadinya manipulasi pada masa
lalu yang mengakibatkan pada era reformasisekarang ini muncul kembali gugatan,
dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta
ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adatdalam
sistem perundang-undangan agraria.
Menurut Fia (2007), faktor
penyebab munculnya permasalahan tentang kasus sengketa tanah antara lain Harga
tanah yang meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin
sadar dan peduli akan kepentingan dan haknya, iklim keterbukaan yang
digariskan pemerintah.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan, faktor utama penyebab sengketa tanah adalah :
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan, faktor utama penyebab sengketa tanah adalah :
1. Luas tanah yang tersedia terbatas, tapi di sisi lain
kebutuhan akan tanahmeningkat sehingga nilai tanah lebih besar.
2. Masalah pengaturan, penguasaan, dan pemilikan yang
pengendaliannya belum efektif.Kasus konflik pertanahan seperti sengketa tanah
hampir terjadi seluruh penjuru tanah air indonesia. Setelah diusut dan
diteliti semua kasus sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa yang
sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga
itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa menggetirkan dalam proses
penyelesaiannya.
Banyak masalah sengketa tanah
yang terkadang selalu memberikan kerugian kepada orang yangseharusnya tidak
bersalah misalnya warga (rakyat biasa) yang bersengketa dengan suatu instansi
yang mempunyai wewenang dan kekuasaan, karena carut-marutnya hukum pertanahan
Indonesian sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa. Dari mulai pungli (pungutan
liar), korupsi sampaikearah mafia pertanahan yaitu juga melibatkan lembaga
peradilan kita.
Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam:
1. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan
sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang
belum ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan
penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.
4. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial
praktis (bersifat strategis).
Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan
meliputi pokok persoalan yang berkaitan dengan:
1. Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas
tanah.
2. Keabsahan suatu hak atas tanah.
3. Prosedur pemberian hak atas tanah.
4. Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan
penerbitan tanda bukti haknya.
C.
Contoh Kasus Sengketa Lahan
Berdasarkan data Badan Pertanahan
Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang
terjadi di Indonesia ini, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu
yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan
dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Contoh kasus :
Contoh kasus :
Sengketa tanah Meruya selatan
(jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H.Geni, dan
Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada
putusanMA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah
dilakukan baru tahun 2007yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang
tinggal di Meruya yang sudah mempunyaisertifikat tanah asli seperti girik.Kasus
sengketa tanah Meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun
turuntangan dalam masalah ini. Selama ini warga Meruya yang menempati tanah
Meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak
juga membeli tanah dari PTP ortanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang
ditempati hampir 5000 kepala keluarga atausekitar 21.000 warga akan dieksekusi
berdasarkan putusan MA.
Contoh lainya seperti :
Sengketa tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus
tahun 1998. Warga di sekitar Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara
memblokade jalur pantura (pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang
dianggap miliknya. Dari catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua
kali pemblokiran jalan pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10
Januari 2007. Selain itu, warga Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih
menempuh jalur hukum dan menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri
(PN) Bangil, 18 Juli 2006 lalu.
D.
Solusi Penyelesaian Sengketa Tanah
Pada hakikatnya, kasus pertanahan
merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan
antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan
perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan
lain sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna kepastian hukum
yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud antara lain
dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang berkepentingan
(masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan Pertanahan Nasional
dan solusi melalui Badan Peradilan. Solusi penyelesaian sengketa tanah dapat
ditempuh melalui cara berikut ini :
a. Solusi melalui BPN
Kasus pertanahan itu timbul karena adanya
klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi
kebenaran dan tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
Badan Pertanahan Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan
hak-hak mereka atas suatu bidang tanah tersebut.
Dengan adanya klaim tersebut,
mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut
koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk
melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang
pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada
Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus pertanahan meliputi beberapa macam
antara lainmengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah
bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. Setelah
menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan
data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut
atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan
Bilamana kelengkapan data
tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian kembali terhadap
masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur, kewenangan dan
penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau badan hukum)
yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat perlindungan
hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan
penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus distatus quokan, dapat
dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat
Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-1992 No 110-150 perihal
Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 tahun 1984.
Dengan dicabutnya Instruksi
Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta perhatian dari Pejabat
Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, agar
selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau pemblokiran hanya
dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari Pengadilan. (Bandingkan
dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3
Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala
Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan
asas-asas umum Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan
ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas persamaan di dalam melayani
kepentingan masyarakat dan memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa. Terhadap
kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan
penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka
sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini
seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam
menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan dengan itu, bilamana
penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai
dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita
acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam
akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna.
Pembatalan keputusan tata usaha
negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional berdasarkan
adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya. Yang menjadi dasar
hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan
Nasional Di Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 3 Tahun 1999.
5. Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum
yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh
yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan
melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.
b. Melalui Badan
Peradilan
Apabila penyelesaian melalui
musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak tercapai, demikian pula
apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak
dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka penyelesaiannya harus
melalui pengadilan.
Setelah melalui penelitian
ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh Pejabat Badan
Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan prosedur yang
berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga mengeluarkan suatu keputusan
yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang berkeberatan atas Keputusan Tata
Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional
tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata
Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada
pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat.
Sementara menunggu putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat Tata Usaha
Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan (status
quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian hari
yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga,
maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait harus
menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi semua
pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian apabila sudah ada
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan permohonan
pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah
diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan
laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas
tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenangan administratif permohonan
pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak
Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk
langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu
putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih
lanjut.Di bidang pertanahan, belum ada suatu peraturan perundang – undangan
yang secara eksplisit memberikan dasar hukum penerapan Alternatif Dispute
Resolution (ADR).Namun, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak
menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu
:Pertama, di dalam setiap sengketa perdata yang diajukan di muka pengadilan,
hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal
130 HIR).Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian masalah berkenaan dengan
bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan pengadaan tanah diupayakan
melalui jalur musyawarah.Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (“Keppres
No.53 tahun 1993”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994 yang merupakan peraturan pelaksanaan
Keppres No. 55 tahun 1993, mengatur tentang tata cara melakukan musyawarah
secara cukup terinci.Dalam perkembangannya, hal ini dimuat dalam Peraturan
Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum (“Perpres No. 36 tahun 2005”) yang diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan
Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007.
Dengan berlakunya Perpres No. 36
tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.Dengan
berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui ADR secara implisit dimuat
dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
(“BPN”).Dalam struktur organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(“Deputi”).BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun
2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan
upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.Pembentukan
Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu pertama, bahwa penyelesaian
berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat
mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk penanganannya.Kedua,
terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui
pengadilan.
UNDANG-UNDANG ITE
Dinegara
kita terkenal dengan Undang-Undang yang berlaku untuk semua masyarakat
Indonesia yang melakukan pelanggaran baik itu pemerintahan ataupun masyarakat
umum.Untuk dunia informasi teknologi dan elektronik dikenal dengan UU
ITE.Undang-Undang ITE ini sendiri dibuat berdasarkan keputusan anggota dewan
pada tahun 2008.Keputusan ini dibuat berdasarkan musyawarah mufakat untuk
melakukan hukuman bagi para pelanggar terutama di bidang informasi teknologi
elektronik.
Untuk
dunia maya atau lebih dikenal dengan cyber sudah semakin kita kenal dekat dengan
kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat Indonesia.Contoh yang paling
gampang adalah situs jejaring sosial yang saat ini ratingnya sangat bagus dalam
dunia pertemanan yaitu Facebook.Di dunia facebook itu sendiri sering terjadi
pelanggaran yang disalahkan oleh pengguna facebook itu sendiri yang bisa
mengakibatkan nyawa seseorang menghilang. Untuk pengguna facebook sendiri
dibuat UU ITE No 11 Tahun 2008, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE
yang berpotensi menimpa facebook di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran
kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan/pencemaran nama
baik [Pasal 27 ayat (3)] dan penyebaran kebencian berdasarkan
suku,agama dan ras (SARA) diatur oleh [Pasal 28 ayat (2)]. Dari
undang-undang ITE ini bisa dilihat kalau dunia maya itu tidak sebaik yang kita
kira,kalau kita memakai jejaring sosial ini dengan semena-mena tidak menutup
kemungkinan kita bisa dijerat oleh UU ITE dengan pasal-pasal yang ada.
Tidak
hanya untuk dunia maya seperti jejaring sosial yang bisa menjerat kita dalam UU
ITE, untuk kasus lainnya seperti menyebar video-video porno melalui alat
komunikasi serta pencemaran nama baik melalu media televisi atau radio atau
menulisnya dalam sebuah blog yang mayoritasnya bisa diakses oleh para pengguna
dunia maya, semua itu pun mempunyai undang-undang ITE. (undang-undang ite,
2010)
Pasal 1 UU ITE mencantumkan diantaranya definisi
Informasi Elektronik. Berikut kutipannya :
”Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),
telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.”
Dari definisi
Informasi Elektronik di atas memuat 3 makna:
1. Informasi
Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik.
2. Informasi
Elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar.
3. Informasi
Elektronik memiliki arti atau dapat dipahami.
Jadi, informasi
elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan arti. Informasi
Elektronik yang tersimpan di dalam media penyimpanan bersifat tersembunyi. Informasi
Elektronik dapat dikenali dan dibuktikan keberadaannya dari wujud dan arti dari
Informasi Elektronik. (politik kompasiana, 2010)
Keamanan
ITE dan Kejahatan ITE selalu beradu dalam berbagai persoalan terkait dengan
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).Keamanan ITE telah disinggung pada
beberapa pasal dalam UU ITE, berikut ini pasal-pasal yang dimaksudkan.
1. Pasal 12 ayat 1 : Setiap Orang yang terlibat dalam
Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan
Elektronik yang digunakannya.
2. Pasal 15 ayat 1 : Setiap Penyelenggara Sistem
Elektronik harus menyelenggarakan Sistem Elektronik secara andal dan aman serta
bertanggung jawab terhadap beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana
mestinya.
Dari
kedua pasal itu, jelas UU ITE mengharuskan atau mewajibkan sistem elektronik
yang diselenggarakan termasuk penggunaan tanda tangan elektronik berlangsung
dengan aman. Kenyataannya, masih banyak transaksi elektronik yang
berlangsung tidak menggunakan sistem elektronik yang aman. Oleh karena itu,
ketika dalam suatu perkara di pengadilan yang terkait pelanggaran berupa
pengrusakan informasi dan/atau dokumen elektronik serta sistem elektronik
seperti tertuang dalam Pasal 30-33 dan Pasal 35, maka Hakim harus
mempertimbangkan dua sisi, yaitu :
1. Perbuatan si pelaku kejahatan yang
mengakibatkan kerugian.
2. Keamanan Sistem Elektronik yang
diselenggarakan.
Hakim
dalam membuat Putusan Pidana dapat mengenakan denda atau hukuman penjara kepada
si pelaku kejahatan dalam kadar yang mungkin lebih ringan ketika perbuatan dari
si pelaku kejahatan berlangsung pada sistem elektronik yang lemah dari segi
keamanan (Yunuz, 2009). Oleh karena itu, UU ITE mendorong bagi para pelaku
bisnis, atau siapa saja yang melakukan transaksi elektronik untuk
sungguh-sungguh memperhatikan persyaratan minimun keamanan sistem elektronik
yang diselenggarakan seperti termuat dalam Pasal 16 yakni:
Pasal 16 ayat 1 : Sepanjang tidak
ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem
Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan
minimum sebagai berikut:
·
Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang-undangan.
·
Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan,
kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut.
·
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut.
·
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan
dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut.
·
Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
memiliki asas diantaranya netral teknologi atau kebebasan memilih teknologi.Hal
ini termasuk memilih jenis tanda tangan elektronik yang dipergunakan untuk
menandatangani suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Asas netral teknologi dalam UU ITE perlu dipahami secara
berhati-hati, dan para pihak yang melakukan transaksi elektronik sepatutnya
menggunakan tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan
akibat hukum yang sah seperti diatur dalam pasal 11 ayat 1 UU
ITE. (Yunuz, Binushacker, 2009)
Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan.
2. Data pembuatan Tanda Tangan
Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa
Penanda Tangan.
3. Segala perubahan terhadap Tanda
Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui.
4. Segala perubahan terhadap Informasi
Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu
penandatanganan dapat diketahui.
5. Terdapat cara tertentu yang dipakai
untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya.
6. Terdapat cara tertentu untuk
menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap
Informasi Elektronik yang terkait.
Selain memuat ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem
elektronik untuk mendukung informasi dan transaksi elektronik, UU ITE juga
memuat pasal-pasal mengenai Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan
Pidana.Perbuatan yang Dilarang termuat pada pasal 27 – 37, sedangkan Ketentuan
Pidana pada pasal 45 – 52.Pidana dapat berupa pidana penjara atau
denda. (Yunuz, Forumkami)
Pada bagian ini, satu contoh kasus yang terkait dengan
perbuatan yang dilarang dalam UU ITE.Dengan contoh ini diharapkan para pembaca
dapat mengambil pelajaran penting dari pasal-pasal terkait Perbuatan yang
Dilarang dan Ketentuan Pidana.
Contoh kasus:
”Si A adalah pemilik rental VCD
berbagai macam film. Suatu hari, dia mendapatkan kiriman satu VCD dari
seseorang yang tidak dikenal.Isi VCD berupa video singkat yang memuat permainan
sex sepasang suami-isteri.Dalam cerita ini, si suami isteri itu sengaja membuat
video tersebut untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan, tapi entah
bagaimana video itu jatuh ke tangan orang lain (si A). Kemudian, si A meng-copy
video itu ke dalam beberapa VCD, lalu menyebarkan atau menjualnya. Pekerjaan Si
A tidak hanya menjual VCD, si A juga memiliki kegemaran untuk merekayasa
foto-foto artis menjadi tampak dalam pose bugil, malahan si A memiliki website
yang dirancangnya sendiri untuk menfasilitasi pemuatan video dan gambar-gambar
pornografi baik gambar asli atau gambar rekayasa.”
Dari kasus di atas, perbuatan si A
dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:
1. Perbuatan si A dengan sengaja dan
tanpa hak telah mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik
berupa video singkat yang melanggar kesusilaan. Untuk itu Pasal 27 ayat 1 akan
menjerat si A.
Pasal
27 ayat 1 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
2. Perbuatan si A melakukan manipulasi
terhadap informasi elektronik berupa foto artis untuk diubah menjadi foto dalam
pose bugil. Tujuan dari manipulasi ini adalah mencemarkan nama baik artis dan
membuat foto hasil rekayasa seolah-olah otentik atau asli. Untuk itu Pasal 27
ayat 3 dan Pasal 35 akan menjerat pula si A.
Pasal
27 ayat 3 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau
mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik”.
Pasal 35 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
Pasal 35 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
3. Perbuatan si A mengakibatkan
kerugian bagi suami isteri dan artis. Si suami isteri membuat video itu untuk
kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan. Si artis memiliki foto asli
tidak dalam pose bugil, tapi karena ulah si A, foto asli diubah menjadi foto
rekayasa dalam pose bugil. Untuk itu Pasal 36 akan menjerat pula si A.
Pasal
36 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
4. Perbuatan si A mengadakan perangkat
lunak berupa website yang bertujuan untuk menfasilitasi pendistribusian
foto/gambar bersifat pornografi. Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan
menjerat pula si A.
Pasal
34 ayat 1 bagian a : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat keras atau perangkat
lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk
memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
33”.
Dari pasal-pasal yang dapat menjerat
si A maka ketentuan pidana yang terkait termuat pada pasal-pasal sebagai
berikut:
1. Pasal 45 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1), ayat (2), ayat (3), atau
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
2. Pasal 50 : ”Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
3. Pasal 51 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).”
4. Pasal 51 ayat 2 : ”Setiap Orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).”
Peranan
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dalam UU ITE hanya sebatas untuk
memberikan dukungan teknis yang terkait dengan pembuatan tanda tangan
elektronik. Peranan yang dimaksud diantaranya:
1. Menerbitkan Sertifikat Elektronik,
tercantum pada Pasal 1, yaitu: “Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang
bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang
menunjukkan status subjek hukum pada pihak dalam Transaksi Elektronik yang
dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.”
2. Memastikan keterkaitan antara tanda
tangan elektronik dengan pemiliknya sebagai subjek hukum yang bertanda tangan,
hal ini terkait dengan pasal 1 di atas, dan pasal 13 ayat 2, yaitu:
“Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu Tanda
Tangan Elektronik dengan pemiliknya.”
3. Walaupun tidak dinyatakan secara
eksplisit dalam UU ITE, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik memiliki kemampuan
untuk dapat memastikan keterkaitan antara tanda tangan elektronik dengan
informasi dan dokumen elektronik yang ditanda tangani, karena tanda tangan
elektronik terasosiasi dengan informasi elektronik yang ditanda tangani. Hal
ini terkait dengan pasal 1 tentang tanda tangan elektronik, yaitu: “Tanda
Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik
yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya
yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah disahkan pada bulan April
2008, pelaksanaannya masih menunggu penerbitan 9 Peraturan Pemerintah dan
pembentukan 2 (dua) lembaga yang baru yakni Lembaga Sertifikasi Keandalan dan
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik. Peraturan Pemerintah tersebut terdiri
dari :
1. Lembaga sertifikasi keandalan
2. Tanda tangan elektronik
3. Penyelenggaraan sertifikasi
elektronik
4. Penyelenggaraan sistem elektronik
5. Penyelenggaraan transaksi elektronik
6. Penyelenggara agen elektronik
7. Pengelolaan nama domain
8. Tatacara intersepsi
9. Peran pemerintah
Selama
proses pembentukan Peraturan Pemerintah untuk UU ITE, Pemerintah perlu secara
intensif mendengarkan berbagai masukan dari masyarakat agar Peraturan
Pemerintah tersebut dapat diterapkan dengan efektif dan mendapatkan respon
positif dari masyarakat. Demikian pula, pelaksanaan UU ITE turut memperhatikan
kesiapan masyarakat, karena UU ITE merupakan payung hukum di Indonesia untuk
pertama kali dalam bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Oleh
karena itu, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dan Instansi
yang terkait perlu intensif melakukan berbagai upaya, diantaranya Sosialisasi
UU ITE pada masyarakat termasuk kalangan kampus, peningkatan pengetahuan aparat
penegak hukum tentang UU ITE dan berbagai aspek dalam Hukum Telematika.
Dua
lembaga yaitu Lembaga Sertifikasi Keandalan dan Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik masing-masing diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut:
1. Lembaga Sertifikasi
Keandalan melakukan fungsi administratif yang mencakup registrasi,
otentikasi fisik terhadap pelaku usaha, pembuatan dan pengelolaan sertifikat
keandalan, dan membuat daftar sertifikat yang dibekukan. Setiap pelaku usaha
yang akan melakukan transaksi elektronik dapat memiliki Sertifikat Keandalan
yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan dengan cara mendaftarkan
diri. Lembaga Sertifikasi Keandalan akan melakukan pendataan dan penilaian
menyangkut identitas pelaku usaha, syarat-syarat kontrak dari produk yang
ditawarkan, dan karakteristik produk. Jika pelaku usaha lulus dalam uji
sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan maka akan memperoleh pengesahan
berupa logo trustmark pada homepage pelaku usaha yang menunjukkan bahwa pelaku
usaha tersebut layak untuk melakukan usahanya setelah diaudit oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan.
2. Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik melaksanakan fungsi administratif mancakup registrasi,
otentikasi fisik terhadap pemohon, pembuatan dan pengelolaan kunci publik
maupun kunci privat, pengelolaan sertifikat elektronik dan daftar sertifikat
yang dibekukan. Setiap pihak yang akan melakukan transaksi elektronik perlu
memenuhi persyaratan minimum dalam UU ITE, singkat kata, memerlukan tanda
tangan elektronik dalam melakukan transaksi elektronik. Tanda tangan elektronik
ini akan lebih aman jika terdapat pihak ketiga selain para pihak yang
bertransaksi. Pihak ketiga tersebut adalah Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
dengan fungsi utama adalah menerbitkan Sertifikat Elektronik yang memuat data
pembuatan tanda tangan elektronik yang dikenal dengan ‘kunci publik’ dan ‘kunci
privat’. Pelaku usaha yang ingin mendapatkan Sertifikat Elektronik untuk
mendukung penggunaan tanda tangan elektronik dalam melakukan transaksi
elektronik dapat mengajukan permohonan kepada Penyelenggara Sertifikasi
Elektronik. Lalu, Penyelenggara Sertifikasi Elektronik akan melakukan pendataan
dan penilaian meliputi identitas pemohon, otentikasi fisik dari pemohon, dan
syarat lainnya. Setelah dinilai dan tidak ada masalah, dilanjutkan dengan
penerbitan Kunci Publik, Kunci Privat, dan Sertifikat Elektronik. Dengan
Sertifikat Elektronik yang dimiliki oleh para pihak yang bertransaksi secara
elektronik akan memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan para pihak
yang bertransaksi.
DAFTAR PUSTAKA
politik kompasiana. (2010, 03 02).Dipetik 05 14, 2013,
dari http://politik.kompasiana.com/2010/03/02/undang-%E2%80%93-undang-ite-dan-penggunaan-facebook-di-indonesia/.
undang-undang ite. (2010, 01 16).Dipetik 05 14, 2013,
dari http://hengkyon7.wordpress.com/2010/01/16/undang-undang-ite-antara-positif-dan-negatif/.
Yunuz, G. (2009, 01). Binushacker.Dipetik 05 14,
2013, dari http://www.binushacker.net/polemik-dan-kontroversi-uu-ite.html.
Yunuz, G. (2009, 01). Makhdor.Dipetik 05 14,
2013, dari http://makhdor.blogspot.com/2009/01/uu-ite-antara-peluang-dan-kontroversi_26.html.
Yunuz, G. (t.thn.). Forumkami. Dipetik 05 14,
2013, dari http://www.forumkami.com/forum/blogger/14856-inilah-daftar-pasal-uu-ite-anda-harus-ketahui-supaya-tidak-dipenjara.html.
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti
Monopoli, Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal 53
Faisal Basri, Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan
Bagi Kebangkitan Indonesia, Erlangga, Jakarta: 2002, hal 326
Munir
fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung: 1999, hal 146