ASPEK HUKUM DALAM
EKONOMI
“Hukum Perikatan, HAKI
(Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan Perlindungan Konsumen”
Disusun
Oleh:
Hasian
Nainggolan (23215080)
Lusiani
Pratama Putri (23215890)
Riva
Oktaviayandari (26215085)
2EB23
UNIVERSITAS
GUNADARMA
FAKULTAS
EKONOMI
ATA
2017
HUKUM PERIKATAN
A. DEFINISI
HUKUM PERIKATAN
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”.Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti;
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli
barang.Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya
seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan,
letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena
hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh
pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’.
Dengan
demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu
disebut hubungan hukum. Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi (personal law).
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata , pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa
sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan
pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan
antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur)
dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut
Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek
hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur
atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas
sikap yang demikian itu. Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan
suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda
yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan
kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang
telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa
pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu
suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran
kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya
suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum
perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan
undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam
perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang
sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak
melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
B. DASAR
HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga
sumber adalah sebagai berikut.
1.
Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian).
2.
Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan
yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH
Perdata:”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari
undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a.
Perikatan terjadi karena
undang-undang semata. Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah
perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH
Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain
dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban
pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber
perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu
: kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar
(obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim.
Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber
perikatan.
b.
Perikatan terjadi karena undang-undang
akibat perbuatan manusia.
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
C. ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme. Asas
Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338
KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya
bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan
demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1.
Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.
Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap
menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah
pengampuan.
3.
Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4.
Suatu sebab yang Halal Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
D. WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wanpretasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat
bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga
kategori, yakni
1. Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya
adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh salah satu pihak;
b. Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat
oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi
telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko Peralihan risiko adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan
Pasal 1237 KUH perdata.
E.
HAPUSNYA
PERIKATAN
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria
sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Cara penghapusan suatu perikatan adalah
sebagai berikut :
1. Pembaharuan
Utang (Inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya
sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang
ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
a.
Novasi obyektif, dimana perikatan
yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
b.
Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
2. Perjumpaan
Utang (Kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang
disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu
dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu
pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan,
oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi,
suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya
A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp.
600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,-
Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B. Untuk terjadinya
kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang
tersebut :
·
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang
atau Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan
barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
·
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan
dapat ditagih seketika.
3.
Pembebasan Utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang.Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur.Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu.Dapat saja diadakan secara lisan.Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur.Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut
pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara
sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.Dengan
pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus.Jika pembebasan utang dilakukan
oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan,
kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan
: (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
4.
Musnahnya Barang yang Terutang
Apabila
benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi
diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan
memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan
tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata,
maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah
perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan
sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237
KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
5.
Kebatalan dan Pembatalan Perikatan-Perikatan.
Bidang
kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan
dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi
berdasarkan undang-undang.
Misalnya
persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah
antara suami istri adalh batal demi hukum.Batal demi hukum berakibat bahwa
perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah
terjadi.Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan,
maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi
hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang
membatalkan perbuatan tersebut.Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang
bersangkutan tetap berlaku.Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat
perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B
menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau
A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan
penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah
batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut
bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan.Jadi pada umumnya
adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.Sedangkan perbuatan hukum dapat
dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya
sendiri.
Syarat
yang membatalkan
Yang
dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui
oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu
batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”.
Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu
dilahirkan.Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak
pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan
sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu,
perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi
akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya
syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut,
melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.
6.
Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh
undang-undang.Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu
seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
CONTOH
KASUS
KASUS
SURABAYA DELTA PLAZA
;;
Sewa – Menyewa Ruangan ;;
A.
Kronologis Kasus
Pada
permulaan PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan disewakan untuk
pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah
satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang
meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya itu. Salah seorang
diantara pedagang yang menerima ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin
Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin
memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III
itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture.
Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin
membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak
bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan
segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin
bersedia membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak
Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan
denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.
Kesepakatan antara pengelola PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris
Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi
perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban
Tarmin ternyata tidak pernah dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu
sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah
dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku
karena pihak SDP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang
diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan
dibicarakan kembali di akhir tahun 1991. Namun pengelola SDP berpendapat
sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap
seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga
10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44
kepada PT SDP. Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk
ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak
membayarnya. Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan
itu.Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu,
pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri Surabaya.
B. Konsep
Hukum Perdata Tentang Perikatan (Perjanjian)
1.
Macam-macam Perikatan
Berdasarkan KHU Perdata, macam-macam perikatan diuraikan
sebagai berikut :
§ Perikatan
Bersyarat
Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian
dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Sehingga
perjanjian seperti ini akan terjadi jika syarat-syarat yang ditentukan itu
terjadi.
§ Perikatan
dengan ketetapan waktu
Suatu perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada
waktu yang ditentukan.Sehingga segala kewajiban oleh pihak yang terikat tidak
dapat ditagih sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba.
§ Perikatan
Alternatif
Suatu perikatan yang mana debitor dalam memenuhi
kewajibannyadapat memilih salah satu diantara yang telah ditentukan.
§ Perikatan
Tanggung-menanggung
Dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.
§ Perikatan
yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dimana setiap debitor hanya bertanggungjawab
sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya.
§ Perikatan
dengan ancaman hukuman
Suatu perikatan dimana seseorang untuk jaminan pelaksanaan
diwajibkan melakukan sesuatu jika perikatan itu tidak dipenuhi.
2.
Berakhirnya Perikatan
Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara terhapusnya
perikatan, yaitu antara lain :
Karena pembayaran, pembaharuan hutang, penawaran pembayaran
tunai, diikuti oleh penitipan, kompensasi atau perjumpaan hutang, percampuran
hutang, pembebasan hutang, hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian,
pembatalan perjanjian, akibat berlakunya syarat pembatalan dan sudah lewat
waktu.
3. Sistem
pengaturan hukum perikatan
Sistem
pengaturan hukum perikatan adalah bersifat terbuka, artinya bahwa setiap orang
bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum
diatur dalam UU.Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam
pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menemukan isi perjanjian dan bebas menetukan bentuk perjanjian baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam menentukan suatu perikatan, maka tidak boleh melakukan
perbuatan yang melawan hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang mengartikan perbuatan
melawan hukum sebagai berikut :
a. Melanggar hak orang lain
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang
dirumuskan dalam UU
c. Bertentangan dengan kesusilaan
d. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan
dalam masyarakat, aturan kecermatan ini menyangkut aturan-aturan yang mencegah
orang lain terjerumus dalam bahaya dan aturan-aturan yang melarang merugikan
orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentinagn sendiri.
C.
Analisis kasus
Setelah
pihak PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) mengajak Tarmin Kusno untuk meramaikan
sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Surabaya, maka secara
tidak langsung PT Surabaya Delta Plaza (PT SDP) telah melaksanakan kerjasama
kontrak dengan Tarmin Kusno yang dibuktikan dengan membuat perjanjian
sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak
PT SDP dan Tarmin Kusno mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat
sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Perjanjian
tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang
telah dilakukan oleh PT SDP dan Tarmin Kusno tersebut dianggap sudah memenuhi
syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan,
karena pihak PT SDP dan Tarmin Kusno dengan rela tanpa ada paksaan
menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT SDP yang
dibuktikan dihadapan Notaris.
Namun
pada kenyataannya, Tarmin Kusno tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk
membayar semua kewajibannya kepada PT SDP, dia tidak pernah peduli walaupun
tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi keras untuk
tidak membayarnya. Maka dari sini Tarmin Kusno bisa dinyatakan sebagai
pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan
alasan inilah pihak PT SDP setempat melakukan penutupan COMBI Furniture secara
paksa dan menggugat Tamrin Kusno di Pengadilan Negeri Surabaya.Dan jika kita kaitkan
dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT SDP bisa dibenarkan.
Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa : Dalam
pada itu si piutang adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang
telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya
dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah
dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.Dari pasal diatas,
maka pihak PT SDP bisa menuntut kepada Tarmin Kusno yang tidak memenuhi suatu
perikatan dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan
kepada PT Surabaya Delta Plaza.
HAK
ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
A.
PENGERTIAN HAKI
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan
padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right.Kata “intelektual”
tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya
pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO,
1988:3).
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau
sekelompok orang atas karya ciptanya.Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta,
Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian
dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil).
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan
hak cipta).Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi,
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang
tidak mempunyai bentuk tertentu.
Terdapat
tiga jenis benda yang dapat dijadikan kekayaan atau hak milik, yaitu :
1. Benda bergerak, seperti emas, perak,
kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekominukasi dan informasi, dan
sebagainya;
2. Benda tidak bergerak, seperti tanah,
rumah, toko, dan pabrik;
3. Benda tidak berwujud, seperti paten,
merek, dan hak cipta.
B.
PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip – prinsip Hak Kekayaan
Intelektual :
1. Prinsip Ekonomi.
Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan
kreatif suatu kemauan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai
bentuk yang akan memeberikan keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
2. Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya
atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam
pemiliknya.
3. Prinsip Kebudayaan.
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan,
sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia
4. Prinsip Sosial.
Prinsip sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga
Negara ), artinya hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada
individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan bedasarkan
keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.
C.
KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INETELEKTUAL
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan
intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta (copyright ) , dan
hak kekayaan industri (industrial property right).Hak kekayaan industry (
industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang
milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.Hak kekayaan
industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris
mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen
pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
1.
Paten
2.
Merek
3.
Varietas tanaman
4.
Rahasia dagang
5.
Desain industry
6.
Desain tata letak sirkuit terpadu
D.
DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI
Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6
Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
E.
HAK CIPTA
Hak Cipta adalah hak khusus bagi
pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya Termasuk ciptaan yang
dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan
seni.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1)Hak cipta diberikan
terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan
kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta,
yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya
lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan
atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”.
Dasar
Hukum HAK CIPTA :
·
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI
Tahun 1982 Nomor 15)
·
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6
Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
F.
HAK PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001:
·
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada
Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan
persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
·
Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil
penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain
untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten).
·
Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu
ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Di samping paten,
dikenal pula paten sederhana (utility models) yang hampir sama dengan paten,
tetapi memiliki syarat-syarat perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan
paten sederhana di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
·
Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah
menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuanadalah
kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
1.
proses;
2.
hasil produksi;
3.
penyempurnaan dan pengembangan proses;
4.
penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi
Dasar Hukum HAK PATEN :
·
UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI
Tahun 1989 Nomor 39)
·
UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun
1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
·
UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI
Tahun 2001 Nomor 109)
G.
HAK MERK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 :
Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi
dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1)
Merek merupakan tanda yang digunakan
untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya
dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi
produsen dan konsumen.
Merek adalah tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Istilah – Istilah Merk :
§ Merek dagang adalah merek yang digunakan
pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis
lainnya.
§ Merek jasa yaitu merek yang digunakan
pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
§ Merek kolektif adalah merek yang digunakan
pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan
barang atau jasa sejenis lainnya.
§ Hak atas merek adalah hak khusus yang
diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi
izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk menggunakannya.
Dasar Hukum HAK MERK :
·
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI
Tahun 1992 Nomor 81)
·
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun
1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
·
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI
Tahun 2001 Nomor 110)
H.
DESAIN INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain Industri adalah suatu kreasi
tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan
warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi
yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau
dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat 1)
Desain Industri. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
“Desain Industri adalah suatu kreasi
tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan
warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi
yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau
dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang,
komoditas industri, atau kerajinan tangan.” (Pasal 1 Ayat 1).
I.
DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu :
“Desain Tata Letak adalah kreasi
berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya
satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua
interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut
dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.” (Pasal 1 Ayat 2).
“Sirkuit Terpadu adalah suatu produk
dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen
dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang
sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam
sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi
elektronik.” (Pasal
1 Ayat 1).
J.
RAHASIA DAGANG
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia Dagang adalah informasi yang
tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai
ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh
pemilik Rahasia Dagang.
CONTOH
KASUS
Kasus HAKI yang satu ini adalah
sebuah tanya jawab dari seorang yang meragukan tentang nama merk dagang salah
satu usahanya yang saya ambil dari internet.
Question
:
apakah kemiripan nama dari KEBAB TURKI BABA RAFI ada
kemiripan nama dengan KEBAB TURKI ABAHANIF dan bisa dituntut secara
hukum?setahu saya yang bisa dituntut secara hukum karena ada kesamaan nama,
kemiripan pengucapan/frase, dan bukan kesamaan/kemiripan sebagian kata.karena
yang dipetenkan adalah satu kalimat bukan perkata
Answer:
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 telah memberikan arahan yang
jelas bagi Ditjen HaKI Departemen Hukum dan HAM agar menolak permohonan
pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya.
Yang
dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan adanya
unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain.
Unsur-unsur yang menonjol pada kedua merek itu dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan tentang: (i) bentuk; (ii) cara penempatan; (iii) cara penulisan; (iV)
kombinasi antara unsur-unsur atau persamaan bunyi ucapan.
Kami tidak bisa memastikan apakah Kebab Turki Baba Rafi
memiliki persamaan pada pokoknya dengan Kebab Turki Abahanif.Untuk memastikan
itu, konsultasikan ke konsultan HaKI.Yang bisa memastikan adalah pengadilan
jika terjadi sengketa.
Namun
demikian kami ingin memberikan dua contoh sebagai perbandingan kepada
Bapak.Pertama, kasus merek AQUA dan AQUALIVA. Mahkamah Agung dalam putusannya
(perkara No. 014 K/N/HaKI/2003) menyatakan bahwa pembuat merek Aqualiva
mempunyai iktikad tidak baik dengan mendompleng ketenaran nama Aqua.
Kedua, terkait dengan pertanyaan Bapak tentang kalimat
dan kata yang didaftarkan.Salah satu kasus yang pernah diputus
MA adalah merek CORNETTO dan CAMPINA CORNETTO (perkara No. 022 K/N/HaKI/2002).
Dalam kasus ini, MA menyatakan penggugat sebagai pemilik merek Cornetto. Dalam
pertimbangannya, MA menggunakan parameter berupa:
·
Persamaan visual
·
Persamaan jenis barang; dan
·
Persamaan konsep.
Jika pendaftar pertama merasa dirugikan oleh merek
yang mempunyai persamaan pada pokoknya, tentu ia dapat menggugat pembatalan
merek dimaksud.
Jadi
bila di tinjau dari masalah yang dibahas ada banyak sekali hal yang harus di
jadikan perimeter bagi para penggugat yang merasa dirugikan dan juga kesadaran
akan pentingnya hak cipta di sunia perdagangan. Bila kesadaran para penjiplak
sudah baik maka mereka akan berfikir lebih baik membuat nama baru dengan
keunggulan produk tersendiri untuk menyaingi daya jual suatu merk dagang yang
di jiplak.
PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.
DEFINISI
KONSUMEN
Konsumsi,
dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi
atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Lebih lanjut, di ilmu ekonomi ada
dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir.Konsumen antara
adalah distributor, agen dan pengecer.Mereka membeli barang bukan
untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang
adalah konsumen akhir.
Pengertian
Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of
Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh
barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.
Pengertian
Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga
bagian, terdiri atas:
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen antara, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen)
menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan
tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan
3. onsumen akhir, yaitu pemakai,
pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Sedangkan
pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
Jadi, Konsumen
ialah orang yang memakai barang atau jasa guna untuk memenuhi keperluan dan
kebutuhannya.Dalam ilmu ekonomi dapat dikelompokkan pada golongan besar suatu
rumah tangga yaitu golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK), dan golongan Rumah
Tangga Produksi (RTP).
B.
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan
konsumen adalah perangkat yang diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak
sebagai contoh para penjual diwajibkan menunjukka tanda harga sebagai tanda pemberitahuan
kepada konsumen. Dengan kata lain, segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
o Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5
ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
o Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42
Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
o Undang Undang No. 5 tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
o Undang Undang No. 30 Tahun 1999
Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
o Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun
2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
o Surat Edaran Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
o Surat Edaran Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Pengaduan Konsumen.
Menurut
Undang- undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen:
Pasal 1
butir 1,2 dan 3:
1. Perlindungan Konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan
3. Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan taua badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun buka
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama
melalui perjanjian menyelenggaraka kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi.
C.
TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dari
uraian diatas kami akan menjelaskan alasan kenapa begitu pentingnya hukum
perlindungan konsumen ini, seperti dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3,
disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan /
atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen
dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
D.
PRINSIP DAN ASAS-ASAS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
a.
Prinsip- Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
1.
Let The Buyer Beware
Ø Pelaku Usaha kedudukannya seimbang
dengan konsumen sehingga tidak perlu proteksi.
Ø Konsumen diminta untuk berhati hati
dan bertanggung jawab sendiri.
Ø Konsumen tidak mendapatkan akses
informasi karena pelaku usaha tidak terbuka.
Ø Dalam UUPK Caveat Emptor berubah
menjadi caveat venditor.
2.
The due Care Theory
Ø Pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa.
Selama berhati hati ia tidak dapat dipersalahkan.
Ø Pasal 1865 Kuhperdata secara tegas
menyatakan, barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk
meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu
peristirwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut.
Ø Kelemahan beban berat konsumen dalam
membuktikan.
3.
The Privity of Contract
Ø Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat
dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual.Pelaku
usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.
Ø Fenomena kontrak kontrak standar
yang bantak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak
berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha.
4.
Kontrak bukan Syarat
Prinsip
ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat
untuk menetapkan eksistensi suatu huungan hukum .
b.
Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen.
1.
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti material maupun spiritual.
4. Asas keamanan
dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian
hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
E. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
a. Hak-hak Konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah
hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika
adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari
akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan
hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari
bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
J.F
Kennedy menentukan ada empat Hak Dasar konsumen, adalah sebagai berikut:
§
Hak memperoleh keamanan (the tight to safety);
§
Hak memilih (the right to choose);
§
Hak mendapat informasi (the right to be informed);
§
Hak untuk didengar (the right to be heard).
Adapun
sesuai Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8
Tahun 1999 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak
Konsumen adalah :
ü Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
ü Hak untuk memilih barang dan/atau
jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
ü Hak atas informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
ü Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
ü Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
ü Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
ü Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
ü Hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
ü Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak- hak
konsumen yang dipandang sebagai jalan masuk yang tepat dalam masalah etis
seputar konsumen sangat diperlukan.
b. Kewajiban Konsumen
Sesuai
dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah:
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
F. HAK DAN KEWAJIBAN PRODUSEN TERHADAP
KONSUMEN
Produsen
ialah orang yang menghasilkan barang atau jasa untuk keperluan konsumen.Barang
atau jasa yang dihasilkan produsen disebut produksi, sedangkan yang memakai
barang dan jasa disebut konsumen.Dalam ilmu ekonomi dapat dikelompokkan pada
golongan besar suatu rumah tangga yaitu golongan Rumah Tangga Konsumsi (RTK),
dan golongan Rumah Tangga Produksi (RTP).
a. Hak Produsen (pelaku
usaha/wirausahawan)
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·
Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik.
·
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen.
·
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
·
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban produsen
1.
Beritikad baik dalam kegiatan usahanya.
2.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan,
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
3.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif.
4.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu dan/atau jasa yang berlaku.
5.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
6.
Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
7.
Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Bila
diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen.Ini berarti hak bagi konsumen
adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan
kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
c.
Perbuatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha
Pelaku usaha dilarang menawarkan jasa yang tidak memenuhi
atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan keterangan, iklan
atau promosi atas penawaran jasa tersebut. Tidak membuat perjanjian atas
pengikatan jasa tersebut dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. (pasal 8).
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan suatu barang dan atau jasa secara tidak benar, dan atau
seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan atau
jasa lain (pasal 9).
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai (Pasal 10)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (pasal 13).
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
dilarang untuk:
Ø Tidak melakukan penarikan hadiah
setelah batas waktu yang dijanjikan;
Ø Mengumumkan hasilnya tidak melalui
media massa;
Ø Memberikan hadiah tidak sesuai
dengan yang dijanjikan;
Ø Mengganti hadiah yang tidak setara
dengan nilai hadiah yang dijanjikan. (pasal 14)
d. Tanggung Jawab Produsen terhadap
Konsumen
Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha
dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
G. SENGKETA KONSUMEN
Sengketa tidak lepas dari suatu konflik.Dimana ada sengketa
pasti disitu ada konflik.Begitu banya konflik dalam kehidupan sehari-hari.Entah
konflik kecil ringan bahkan konflik yang besar dan berat.Hal ini dialami oleh
semua kalangan.Karena hidup ini tidak lepas dari permasalahan.
Sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu
objek permasalahan.Sedangkan menurut Ali Achmad sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang
suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya.
Sedangkan pengertian Konsumen Menurut pengertian Pasal 1
angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain.dan.tidak.untuk.diperdagangkan.”
Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam
bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang
membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa
konsumen.Definisi ”sengketa konsumen” dijumpai pada Peraturan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001
tanggal 10 Desember 2001, dimana yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah:
“sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang
menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”
Jadi, sengketa konsumen adalah sengketa
antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau
memanfaatkan jasad.
Melalui pasal 45 ayat (1) ini dapat
diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen , terdapat dua pilihan
yaitu :
o Melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, atau
o Melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.
Alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara
berikut :
§ Konsultasi
§ Negosiasi
§ Mediasi
§ Konsialisasi
§ Penilaian ahli
H. SANKSI-SANKSI
a. Sanksi Perdata
Ganti
rugi dalam bentuk :
Ø Pengembalian uang
Ø Penggantian barang
Ø Perawatsan keehatan, dan/atau
Ø Pemberian santunan
Ø Ganti rugi diberikan dalam tenggang
waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
b. Sanksi Administrasi
Maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25.
c. Sanksi Pidana
Ø Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1)
huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18.
Ø Penjara, 2 tahun, atau denda
Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan
17 ayat (1) huruf d dan f.
Ø Ketentuan pidana lain (di luar
Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
Ø Hukuman tambahan , antara lain :
o
Pengumuman keputusan Hakim;
o
Pencabuttan izin usaha;
o
Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
o
Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
o
Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat.
CONTOH KASUS
ANALISIS KASUS HUKUM PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Perlindungan
Konsumen di Bidang Paman
Contoh kasus pelanggaran UU Perlindungan konsumen di bidang
pangan.Kasus di bidang pangan ini adalah kasus yang paling mengkhawatirkan
masyarakat. Kasus tersebut adalah kasus – kasus tentang masalah penyalahgunaan
zat-zat berbahaya pada produk pangan ataupun bahan yang diperbolehkan untuk
digunakan tetapi penggunaannya oleh sang pelaku usaha dalam produk pangan
melebihi batas yang telah ditentukan. Zat-zat yang berbahaya diantaranya
formalin, boraks, rhodamin – B, Metanil Yellow dan lain sebagainya. Jika
zat-zat ini masuk ke dalam tubuhkonsumen, maka akan menimbulkan efek yang
berbahaya bagi tubuh dalam jangka panjang karena zat-zat tersebut telah terakumulasi
dalam tubuh.
Demi menekan ongkos produksi, para pelaku usaha tega
mencampurkan zat-zat berbahaya ke dalam produk yang mereka jual agar produknya
bisa tahan lama.Misalnya saja produsen yang menggunakan boraks atau formalin ke
dalam produk makanan yang dijualnya agar produk tersebut lebih tahan lama.Kalau
produk mereka tahan lama, bisa dijual lagi keesokan harinya, sehingga ongkos
produksi juga bisa ditekan.
Konsumen yang telah membayar sejumlah uang untuk mendapatkan
produk yang dijual oleh pelaku usaha tersebut malah dicurangi.Konsumen tidak
mendapatkan kualitas produk yang sesuai dengan yang diinginkannya.Tetapi justru
membahayakan kesehatan mereka di kemudian hari.Kasus seperti ini jelas telah
melanggar UU Perlindungan konsumen.Di dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 4
point ke 3 disebutkan salah satu hak konsumen yaitu “hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
Kasus tersebut jelas sudah bertentangan dengan bunyi pasal
tersebut tentang hak konsumen.Hak konsumen telah diabaikan.Konsumen tidak
mendapatkan informasi yang jujur dari pelaku usaha mengenai produk yang mereka
jual.Para pelaku usaha seolah tidak jera dan tetap melakukan hal itu
lagi.Bahkan seperti tidak ada tindakan yang tegas dari pemerintah untuk
menghadapi para pelaku usaha yang demikian.
Dalam kasus ini tidak hanya para pelaku usaha yang
salah.Namun konsumen juga harus lebih teliti lagi dalam membeli suatu
barang.Konsumen harus lebih mengamati produk yang dibelinya.Jangan sampai
tertipu.Dalam membeli suatu barang, konsumen juga harus memperhatikan tanggal
kadaluarsa dari produk tersebut.Jangan sampai membeli produk yang telah
kadaluarsa.Namun, sang pelaku usaha juga harus selalu mengontrol produk yang
mereka jual, jangan sampai ada produk yang telah kadaluarsa tetapi masih saja
dijual. Jadi, dalam hal ini dibutuhkan peran dari kedua belah pihak.
Untuk mengatasi kasus pelanggaran UU Perlindungan Konsumen
dalam bidang pangan tersebut sebaiknya pemerintah sebagai badan yang melakukan
pengawasan terhadap penyebaran dan pemasaran barang – barang yang telah beredar
di masyarakat luas, selalu melakukan pengawasan – pengawasan terhadap para
pelaku usaha maupun para distributor yang menyediakan barang.Selain itu,
diperlukan juga sosialisasi kepada masyarakat secara terus-menerus.Salah satu
media yang diperlukan adalah iklan layanan masyarakat yang mengajak atau
mendorong konsumen untuk lebih bijak dalam menentukan pilihan, artinya konsumen
harus memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang dan ketentuannya.
Analisis Hukum
Berdasarkan kasus dan teori diatas
masih banyak pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajibannya dan masih banyak
konsumen yang merasa dirugikan akibat oknum-oknum pelaku usaha yang tidak
bertanggung jawab.
Jika dilihat menurut Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, kasus pelaku usaha dibidang pangan tersebut menyalahi
ketentuan. Berikut adalah beberapa pasal dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang dilangar oleh pelaku usaha dalam bidang pangan:
1. Pasal 4, hak konsumen adalah :
o
Ayat 1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
o
Disini pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen
tersebut. Ini terbukti Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006)
37 kasus tidak jelas asalnya, 11 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada
sample. Pada tahun 2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum)
sebanyak 95 kasus, tidak ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian
dan analisa BPKN juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam
produk makanan Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan
pengawet, pewarna, pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti
rhodamin B dan methanil yellow).
o
Ayat 3 : “Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
Para pelaku usaha bidang pangan
terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam dan lainnya para
pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya bahkan mencampur
adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen dalam mengetahui
informasi komposisi bahan makanannya.
2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha
adalah :
o
Ayat 2 : “Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.”
o
Pelaku usaha bidang pangan tidak pernah memberitahu kondisi
serta penjelasan komposisi makanan apa yang terkandung didalamnya. Terkadang
juga pelaku usaha tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa pada makanan kemasan
dan kaleng.
3. Pasal 19
o
Ayat 1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”
o
Ayat 2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
o
Ayat 3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang
waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.”
Hukuman
Bagi Para Oknum Penyalahgunaan Zat Berbahaya dalam Produk Pangan di Indonesia
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Hukuman bagi pelaku usahapun masih terlalu ringan, misalnya yang terbukti bersalah hanya divonis penjara 3-6 bulan sedangkan dendanya hanya Rp. 200.000, Dasar hukum yang dipakai oleh hakim dan jaksa hanya KUHP atau peraturan daerah. Sedangkan dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 pelanggaran terhadap kesehatan konsumen dapat dikenakan hukuman maksimal 5 tahun berikut denda hingga Rp 2 milyar.
Analisis Etika
Bisnis tertentu merusak masyarakat,
baik dalam kaitannya dengan kesehatan, mental, maupun budaya
masyarakat.Timbulnya berbagai penyakit yang sangat dipengaruhi oleh pola
konsumsi makanan tidak bisa tidak merupakan tanggung jawab pedagang atau orang
bisnis.Demikian pula, sampai pada tingkat tertentu orang bisnis membuat
masyarakat menjadi sangat konsumtif dan bahkan sampai pada tindakan kriminal
seperti pencurian, perampokan dan korupsi hanya demi memenuhi kebutuhan atau
permintaan yang dalam banyak hal tidak begitu diperlukan.Maka, tidak berlebihan
kalau dikatakan bahwa bisnis ikut bertanggung jawab (secara etika) atas baik
buruknya masyarakat modern ini.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar